BAB I
PENDAHULUAN
Di zaman
modern seperti saat ini bangsa Indonesia banyak mengalami berbagai polemic yang
beredar di dalam masyarakat yang menimbulkan suatu pertentang bahkan sampai
menimbulkan perikaian diantara masyarakat. Pertikaian yang ada muncul dari
berbagai masalah yang biasanya timbul karena perbedaan pendapat atau paham yang
mereka anut. Pertikaian bermula dari
suatu persoalan yang kecil karena tidak cepat diselesaikan maka persoalan
tersebut menjadi besar. Persoalan ini sebaiknya cepat diselesaikan agar tidak
menjadi besar. Di dalam suatu pertikaian biasanya memerlukan perantara atau
biasa disebut pihak ketiga yang dapat membantu menyelesaikan persoalan
tersebut.
Banyak cara
menyelesaikan suatu pertikaian diantaranya yaitu dengan Negosiasi, Mediasi, dan
Arbitrase. Ketiga cara penyelesaian ini bisa digunakan agar pertikaian dapat
segera teratasi.bermula dari penyelesaian dengan membicarakan baik – baik
diantara kedua pihak yang bertikai, berlanjut bila pertikaian tidak dapat
diselesaikan diantara mereka maka dibutuhkan pihak ketiga yaitu sebagai
mediasi, selanjutnya jika tidak dapat melalui mediasi maka dibutuhkan pihak
yang tegas untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika tidak dapat
diselesaikan juga maka membutuhkan badan hokum seperti pengadilan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, cara ini bisa disebut dengan Ligitasi. Secara
keseluruhan cara – cara tersebut dapat digunakan sehingga pertikaian dapat
terselesaikan.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Pada
pembahasan kali ini, penulis akan membagi beberapa perumusan masalah yang akan
dibahas yaitu :
1.
Pengertian sengketa
2.
Cara-cara penyelesaian sengketa
3.
Negosiasi
4.
Mediasi
5.
Arbitase
6.
Perbandingan antara perundingan, arbitase, dan ligitasi
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sengketa
Dalam
kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi
terhadap satu objek permasalahan.
Menurut
Winardi, Pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok
yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut
Ali Achmad,
sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari
persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari
pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah
perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi
salah satu diantara keduanya.
B. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Suatu konflik atau sengketa tidak
akan selesai sampai konflik atau sengketa tersebut terselesaikan. Sebenarnya
penyelesaian sengketa secara damailah yang diinginkan. Dimana bertujuan untuk
mencegah dan menghindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan
antar individu,kelompok,organisasi,lebaga bahkan antar negara sekalipun. Namun
dengan cara perdamaian haruslah dengan hati yang lapang menerima segala
kesepakatan yang disetujui. Dan dengan cara damai haruslah adil dimana yang
berhak mendapatkan dialah yang berhak mendapatkan, dan yang tidak berhak
mendapatkan haruslah menerima kalau hal yang dipermasalahkan bukan mmenjadi
haknya. Penyelesaian sifatnya adalah segera. Karena jika tidak segera
ditanggapi dengan tanggap maka permasalahan atau sengketa akan semakin
memuncak. Dimana masalah bisa menjadi semakin besar dan mengakibatkan
adanya kekerasan diantara kedua belah pihak tersebut.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan). Jelas sekali dalam
undang-undang sudah tercantum pasal mengenai perekonomian harus disusun sebagai
usaha bersama yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Yang jelas kita lihat
adalah koperasi dimana koperasi menggunakan asas kekeluargaan. Dan banyak pula
kita jumpai perusahaan besar yang dalam operasi usahanya menggunakan jenis
koperasi. Dimana segala sesuatunya dijalankan bersama dan dengan asas
kekeuargaan. Tak heran jika perusahaan tersebut sukses besar. Karenan dengan
asas kekeluargaan semua dibicarakan dengan adanya saling menghormati dan
menghargai pendapat, hak dan kewajiban masing-msing anggotanya. Nah kita
kembali ke topik bahasan, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui berbagai
macam cara
C. Negosiasi
Negoisasi
atau perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak
untuk menyelesaikan suatu persengketaan, tidak melibatkan pihak ketiga, dan
diantara keduanya tidak ada lagi berselisih paham setelah mendapatkan keputusan
penyelesaian sengketanya, serta keduanya saling menerima kesepakatan yang
diambil tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dimana keduanya tidak ada yang
merasa dirugikan.
D. Mediasi
Mediasi
adalah salah satu alternatif yang dikembangkan. Selain sistem Mediation sistem
yang dikembangkan diantaranya adalah Sistem Minitrial, Sistem Concilition,
Sistem Adjudication, Sistem Arbitrase.
Mediasi
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas
cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di
pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui
penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian
sengketa melalui mediator (penengah). Mediatornya disini kita sebut saja
misalnya pengadilan. Dimana dengan sistem ini kedua pihak
yang bersengketa datang bersama secara pribadi saling berhadapan antara
satu dengan yang lain. Kedua pihak berhadapan langsung dengan mediator dimana
mediator merupakan pihak ke tiga dimana mediator disini tidak memihak pihak
manapun bisa dikatakan pihak ke tiga atau mediator haruslah netral.
Dari
uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Peran dan fungsi mediator adalah
membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka
sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah
compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari kompromi,
mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Karena apabila hal tersebut terjadi keduanya hanya akan terjebak,
pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have
may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no
the way). Ya, untuk apa kita menggunakan mediator kalau kedua pihak tidak
mengikuti prosedur yang ada. Jika diibaratkan, untuk apa kita menggunakan jasa
perahu kalau kedua pihak bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan berenang
sehingga lebih cepat untuk mendapatkan ikan. Cara dan sikap yang seperti itu,
bertentangan dengan asas mediasi. Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi
yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau
win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada
yang menang mutlak.
Manfaat yang paling menonjol, antara lain:
1.
Penyelesaian cepat terwujud (quick).
2.
Biaya Murah (inexpensive)
3.
Bersifat Rahasia (confidential)
4.
Bersifat Fair dengan Metode Kompromi
5.
Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
6.
Hasil yang dicapai WIN-WIN
7.
Tidak Emosional.
E.
Arbitase
Mengenai
arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada
tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai
salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam
adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang
arbitrase.
Di
Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian,
umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh
karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika
dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak
persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi,
seperti sederhana dan cepat (informal dan quick), prinsip konfidensial,
diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara
profesional.
Namun, demikian,
di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia
bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication.
Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive).
Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya
litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus
dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus
dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase
terdiri dari:
a.
Biaya administrasi
b.
Honor arbitrator
c.
Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d.
Biaya saksi dan ahli.
Komponen biaya yang seperti itu,
tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus
dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya
atau nominal cost.
2.
Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah
satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal
procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan
cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya
sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun
banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang
bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai
penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan
(governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang. Kelebihan tersebut antara lain:
a.
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
b.
dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
c.
para
pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,
jujur dan adil;
d.
para
pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e.
putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan
dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan
menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister)
maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara
litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3.
Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang
terlembaga.
Arbitrase
secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata,
namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang
menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya
memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical
arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau
aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed
arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact
and law).
F.
Perbandingan Antara Perundingan, Arbitase, dan Ligitasi
Perundingan adalah pembicaraan tentang
sesuatu, perembukan, permusyarawaratan. Perundingan merupakan tindakan atau
proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima. Dalam
perundingan dibutuhkan tindakan kedua belah pihak baik yang nyata maupun yang
tidak, dimana pihak-pihak yang berunding memberikan persetujuannya. Perundingan
tidak mencari cara untuk memengaruhi satu pihak, namun terjadi karena kedua
belah pihak merasakan hal yang sama: ingin mencapai kesepakatan.
Arbitrase
berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Secara singkat
sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa
“semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman
Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum
diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945
tersebut.
b.
Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum
dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : “Jika
orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus
oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan
yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan
pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini
adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
c.
Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase
dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
-
Persetujuan
arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
-
Pemeriksaan
di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
-
Putusan
Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
-
Upaya-upaya
terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
-
Berakhirnya
acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
d.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka,
ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan
dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian
perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau
arbitrase tetap diperbolehkan”.
e.
Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang
tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama
sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat
dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang
telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan
tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal
ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan
Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah
Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan
arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp.
25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
f.
Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967
menyatakan: “Jikalau di antara kedua
belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran
kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat
kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 :“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang
dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang
ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik
modal”.
g.
UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas
“Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing
Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International
Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and
Nationals of Other States”.
Dengan undang-undang ini
dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan
agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International
Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
h.
Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi
Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan
pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
i.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya
Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan
PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada
tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
j.
UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru
yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
Ligitasi adalah
artinya persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan
informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga.
Ligitasi sekarang
menjadi tuntutan masyarakat akan adanya supremasi hukum terlihat dari
perkembangan masyarakat yang semakin mengedepankan aspek legalitas.
Kecenderungan masyarakat dewasa ini lebih memilih institusi hukum/ pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang terjadi diantara mereka,
daripada harus duduk bersama, bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
BAB IV
PENUTUP
Demikian
yang dapat disampaikan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
pembahasan kali ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang ada hubungannya dengan
judul pembahasan ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
pembahasan ini dan penulisan artikel atau pembahasan di kesempatan – kesempatan
berikutnya.
Semoga pembahasan ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://jmmymartin.wordpress.com/2012/06/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi-masalah-aspek-hukum-dalam-ekonomi/
http://chigulolli.blogspot.com/2011/05/perbandingan-antara-perundingan.html
http://yuarta.blogspot.com/2011/03/cara-cara-penyelesaian-sengketa.html