Wednesday, May 28, 2014

Penyelesaian Sengketa Ekonomi



BAB I
PENDAHULUAN

                        Di zaman modern seperti saat ini bangsa Indonesia banyak mengalami berbagai polemic yang beredar di dalam masyarakat yang menimbulkan suatu pertentang bahkan sampai menimbulkan perikaian diantara masyarakat. Pertikaian yang ada muncul dari berbagai masalah yang biasanya timbul karena perbedaan pendapat atau paham yang mereka anut. Pertikaian  bermula dari suatu persoalan yang kecil karena tidak cepat diselesaikan maka persoalan tersebut menjadi besar. Persoalan ini sebaiknya cepat diselesaikan agar tidak menjadi besar. Di dalam suatu pertikaian biasanya memerlukan perantara atau biasa disebut pihak ketiga yang dapat membantu menyelesaikan persoalan tersebut.
                        Banyak cara menyelesaikan suatu pertikaian diantaranya yaitu dengan Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase. Ketiga cara penyelesaian ini bisa digunakan agar pertikaian dapat segera teratasi.bermula dari penyelesaian dengan membicarakan baik – baik diantara kedua pihak yang bertikai, berlanjut bila pertikaian tidak dapat diselesaikan diantara mereka maka dibutuhkan pihak ketiga yaitu sebagai mediasi, selanjutnya jika tidak dapat melalui mediasi maka dibutuhkan pihak yang tegas untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika tidak dapat diselesaikan juga maka membutuhkan badan hokum seperti pengadilan untuk menyelesaikan masalah tersebut, cara ini bisa disebut dengan Ligitasi. Secara keseluruhan cara – cara tersebut dapat digunakan sehingga pertikaian dapat terselesaikan.



BAB II
PERUMUSAN MASALAH

                        Pada pembahasan kali ini, penulis akan membagi beberapa perumusan masalah yang akan dibahas yaitu :
1.      Pengertian sengketa
2.      Cara-cara penyelesaian sengketa
3.      Negosiasi
4.      Mediasi
5.      Arbitase
6.      Perbandingan antara perundingan, arbitase, dan ligitasi



BAB III
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Sengketa
                        Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan.
                        Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
                        Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
                        Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

B.     Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
                        Suatu konflik atau sengketa tidak akan selesai sampai konflik atau sengketa tersebut terselesaikan. Sebenarnya penyelesaian sengketa secara damailah yang diinginkan. Dimana bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar individu,kelompok,organisasi,lebaga bahkan antar negara sekalipun. Namun dengan cara perdamaian haruslah dengan hati yang lapang menerima segala kesepakatan yang disetujui. Dan dengan cara damai haruslah adil dimana yang berhak mendapatkan dialah yang berhak mendapatkan, dan yang tidak berhak mendapatkan haruslah menerima kalau hal yang dipermasalahkan bukan mmenjadi haknya. Penyelesaian sifatnya adalah segera. Karena jika tidak segera ditanggapi dengan tanggap maka permasalahan atau sengketa akan semakin memuncak. Dimana masalah bisa menjadi semakin besar  dan mengakibatkan adanya kekerasan diantara kedua belah pihak tersebut.
                        Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan). Jelas sekali dalam undang-undang sudah tercantum pasal mengenai perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Yang jelas kita lihat adalah koperasi dimana koperasi menggunakan asas kekeluargaan. Dan banyak pula kita jumpai perusahaan besar yang dalam operasi usahanya menggunakan jenis koperasi. Dimana segala sesuatunya dijalankan bersama dan dengan asas kekeuargaan. Tak heran jika perusahaan tersebut sukses besar. Karenan dengan asas kekeluargaan semua dibicarakan dengan adanya saling menghormati dan menghargai pendapat, hak dan kewajiban masing-msing anggotanya. Nah kita kembali ke topik bahasan, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui berbagai macam cara

C.     Negosiasi
                        Negoisasi atau perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, tidak melibatkan pihak ketiga, dan diantara keduanya tidak ada lagi berselisih paham setelah mendapatkan keputusan penyelesaian sengketanya, serta keduanya saling menerima kesepakatan yang diambil tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dimana keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.

D.    Mediasi
                        Mediasi adalah salah satu alternatif yang dikembangkan. Selain sistem Mediation sistem yang dikembangkan diantaranya adalah Sistem Minitrial, Sistem Concilition, Sistem Adjudication, Sistem Arbitrase.
                        Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Mediatornya disini kita sebut saja misalnya pengadilan. Dimana dengan sistem ini kedua  pihak  yang bersengketa datang bersama secara pribadi saling berhadapan antara satu dengan yang lain. Kedua pihak berhadapan langsung dengan mediator dimana mediator merupakan pihak ke tiga dimana mediator disini tidak memihak pihak manapun bisa dikatakan pihak ke tiga atau mediator haruslah netral.
                        Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Peran dan fungsi mediator adalah membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Karena apabila hal tersebut terjadi keduanya hanya akan terjebak, pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way). Ya, untuk apa kita menggunakan mediator kalau kedua pihak tidak mengikuti prosedur yang ada. Jika diibaratkan, untuk apa kita menggunakan jasa perahu kalau kedua pihak bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan berenang sehingga lebih cepat untuk mendapatkan ikan. Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi. Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.

Manfaat yang paling menonjol, antara lain:
1.      Penyelesaian cepat terwujud (quick).
2.      Biaya Murah (inexpensive)
3.      Bersifat Rahasia (confidential)
4.      Bersifat Fair dengan Metode Kompromi
5.      Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
6.      Hasil yang dicapai WIN-WIN
7.      Tidak Emosional.

E.      Arbitase
                        Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
                        Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
                        Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti sederhana dan cepat (informal dan quick), prinsip konfidensial, diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.



                        Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
a.       Biaya administrasi
b.      Honor arbitrator
c.       Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d.      Biaya saksi dan ahli.
Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2.      Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang. Kelebihan tersebut antara lain:
a.       Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
b.      dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
c.       para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d.      para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e.       putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
                                    Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.      Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2.      Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3.        Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
                                               



                                                Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1.      Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2.      Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3.      Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).

F.      Perbandingan Antara Perundingan, Arbitase, dan Ligitasi
                        Perundingan adalah pembicaraan tentang sesuatu, perembukan, permusyarawaratan. Perundingan merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima. Dalam perundingan dibutuhkan tindakan kedua belah pihak baik yang nyata maupun yang tidak, dimana pihak-pihak yang berunding memberikan persetujuannya. Perundingan tidak mencari cara untuk memengaruhi satu pihak, namun terjadi karena kedua belah pihak merasakan hal yang sama: ingin mencapai kesepakatan.
            Arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.      Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
b.      Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa :  “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
c.       Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
-        Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
-        Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
-        Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
-        Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
-        Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
d.      Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
e.      Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).

f.        Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: “Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 :“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
g.      UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”.
Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
h.      Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
i.        Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
j.        UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
                        Ligitasi adalah artinya persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga.
                        Ligitasi sekarang menjadi tuntutan masyarakat akan adanya supremasi hukum terlihat dari perkembangan masyarakat yang semakin mengedepankan aspek legalitas. Kecenderungan masyarakat dewasa ini lebih memilih institusi hukum/ pengadilan dalam menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang terjadi diantara mereka, daripada harus duduk bersama, bermusyawarah untuk mencapai mufakat.




BAB IV
PENUTUP

                        Demikian yang dapat disampaikan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam pembahasan kali ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang ada hubungannya dengan judul pembahasan ini.
                        Penulis banyak berharap para pembaca yang dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya pembahasan ini dan penulisan artikel atau pembahasan di kesempatan – kesempatan berikutnya.
                        Semoga pembahasan ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA

http://jmmymartin.wordpress.com/2012/06/03/penyelesaian-sengketa-ekonomi-masalah-aspek-hukum-dalam-ekonomi/
http://chigulolli.blogspot.com/2011/05/perbandingan-antara-perundingan.html
http://yuarta.blogspot.com/2011/03/cara-cara-penyelesaian-sengketa.html